Jumat, 01 Mei 2009

Ketika Cinta Berbuah Nangka (vol. 3)

"Bukan begitu Bu..." potong Dinda tiba-tiba.

"Saya tak bisa menentukan hari ini,Bu! Ini terlalu sulit, bahkan mungkin lebih sulit dari ujian CPNS sekalipun. Oleh karena itu izinkan saya memikirkannya paling tidak sampai waktu yang ditentukan,"lanjut Dinda.

"Oh,tentu. Seandainya hari ini De' Dinda menolak pun itu memang sudah jadi hak De' Dinda. Jadi, semua terserah De' Dinda saja. Ngomong-ngomong memangnya mau sampai kapan,De' ?" balas bu Zaenab dengan tutur lembut.

"Nnggghh..kapan ya? Anu,mungkin sampai musim panen nangka bulan ini,Bu...." jawab Dinda singkat.

>>>Toeng...??<<<

Peristiwa tadi malam sepertinya membuat Dinda sangat kepikiran. Bagaimana tidak, ternyata perjodohan itu sudah disepakati kakek Dinda dengan kakek si Ahsan jauh-jauh hari sebelum era reformasi. Di sekolah dia terlihat kusut. Bola basket yang biasa ia mainkan di sore hari pun tidak ia sentuh sama sekali. Nafsu makannya turun dari 2 porsi penuh menjadi 2 porsi kurang 2 sendok teh.

Kalau sedang ada masalah, biasanya Dinda menemui Bobi yang biasa lewat di depan rumahnya untuk curhat. Dan beruntung Bobi sore itu lewat di depan rumahnya. Kebetulan waktu itu rumah sedang sepi. Orang tua Dinda masih menjaga warung di ujung jalan. Adik dinda sedang belajar di TPQ. Sehingga saat Dinda bertemu Bobi, tanpa basa-basi Dinda langsung meraih tubuhnya dan memeluknya erat sambil sesengukan berucap, "Bobiii...! Gue lagi bingung nih! Menurut loe,gue pantes ga' jadi istrinya si Akhsan? Menurut loe,salah ga' kalo gue ngarep-ngarepin dapat orang seperfect dia? Hiks... Hiks...!"

Pelukan Dinda makin erat. Hal ini membuat nafas Bobi tersengal dan ia pun akhirnya meronta.

"Meeooong! Meeooong! Meeoong"

"Ups,sorry Bob! Gue udah bikin loe tersiksa ya? Yawdah,kita masuk yuk! Gue punya ikan asin loh buat loe...." seloroh Dinda selanjutnya.

Yah, itulah Dinda. Ketika sedang sedih dia biasa curhat dengan seekor kucing. Entah sejak kapan dia punya kebiasaan aneh seperti itu. Tapi yang jelas, Dinda memang sangat menyukai hewan berkumis yang satu ini.

Singkat cerita, hari-hari dilaluinya dengan penuh kebimbangan. Jika pilihan saat pemilu menentukan nasib bangsa 5 tahun ke depan, maka pilihan Dinda kali ini akan menentukan nasibnya seumur hidup. Sementara itu, musim panen nangka di lingkungan Dinda sudah hampir dekat. Namun sampai detik ini ia belum menemukan jawabannya.

Waktu yang dijanjikan sudah tiba. Hari ini adalah hari dimana kebun nangka di lingkungan tempat tinggalnya mulai dipanen. Dinda sadar waktunya sudah habis dan ia belum bisa memberi jawaban atas keraguannya selama ini. Sungguh, ingin rasanya ia mencurahkan perasaannya pada teman-temannya. Tapi Dinda juga malu jika seandainya mereka malah menertawakan dan meledek Dinda.



"Duh...Gue harus gimana nih? Gue masih belom yakin untuk menolak atau bahkan menerima. Kaga' ngarti dah! Ntar gue ngitungin kancing baju aja deh...." batin Dinda dalam perjalanan pulang sekolah.

Di tengah kebimbangannya, tiba-tiba terdengar suara dari arah samping.

"Mba...! Mba Dinda!"

Dinda tengak-tengok mencari sumber datangnya suara tersebut,"Aneh banget deh! Ada suara tapi kok ga ada wujudnya ya?"

"Mba Dinda! Liat ke atas Mba! Dini udah bisa bergrantulan di pohon nangka nih! Hebat kan?"

Dinda langsung mengarahkan pandangannya ke atas. Namun apa yang ia lihat malah membuatnya berteriak histeris, "Wwhhuuuaaaa....! Masya Allah Dini! Kamu lagi ngapain di situ? Aduh,ayo cepet turun!!"

Disaksikannya Dini, adiknya yang berusia 10 tahun bergelantungan di atas pohon setinggi 4 meter dengan posisi badan terbalik. Siapa orangnya yang tak takut melihat pemandangan itu.

"Turun Dini! Mba bilang turuun!!!" perintah Dinda panik.

"OK...OK...! Dini turun. Mba ini, ga tau ada orang lagi asyik apa ya?"

Dini pun turun dari atas pohon. Orang-orang yang kebetulan lewat pun pasti menjadi ikut khawatir. Dan apa yang dikhawatirkan Dinda akhirnya menjadi kenyataan. Saat Dini berada setengah jalan turun dari pohon, kakinya terpeleset dan ranting yang ia pegang juga ikut putus. Akibatnya, Dini pun jatuh dengan sukses.

"Diniiii...!!" teriak Dinda histeris.

Peristiwa ini makin membuktikan kebenaran teori Newton tentang gravitasi. Namun itu tidak penting. Sebab yang terpenting bagi Dinda saat ini adalah bagaimana menyelamatkan nyawa adiknya yang tercinta. Cepat-cepat ia bersama warga lainnya menolong Dini.

"Ya,Allah! Cepat panggil ambulans! Cepat panggil ambulans, pak! Tolong adik saya...!" pinta Dinda penuh iba. Air matanya menganak sungai.

Beruntung saat itu juga ada orang lewat yang langsung menawarkan diri untuk mengantarkan Dini ke rumah sakit dengan menggunakan mobil yang dinaikinya. Tahu akan hal itu, para warga segera mengangkat tubuh Dini yang berlumur darah sementara Dinda mengikuti dari belakang untuk ikut menemani Dini masuk ke dalam mobil.

"Mas, buruan ke Rumah Sakit terdekat! Please...!" pinta Dinda.

"Ya,mba. Akan saya usahakan secepat mungkin,"ucap orang itu membalikkan badannya.

Melihat pria yang ada di depannya. Dinda semakin terkejut tidak karuan.

"Kamu... Ahsan kan!" ucap Dinda.

(Bersambung ke vol. 4, episode pamungkas Ketika Cinta Berbuah Nangka)