Senin, 24 Agustus 2009

Ketika Cinta Berbuah Nangka (vol 4)

Dinda berlari membopong Dini masuk ke Rumah Sakit. Sementara itu Ahsan ikut mendampinginya. Dengan lukanya yang begitu parah, Dini harus mendapatkan perawatan intensif di ICU.

Secara otomatis, musibah yang menimpa Dini harus membuat Dinda menunda 'pengumumannya'. Dini mengalami benturan di bagian kepala dan tulang engkelnya patah serta memar di beberapa bagian tubuh. Ia saat ini tak sadarkan diri dengan alat bantu pernafasan yang melekat. Melihat apa yang menimpa adiknya, tanpa sadar air mata Dinda kembali meleleh membasahi pipi. Ahsan yang dari tadi ikut mengantar Dini ikut bersimpati.

"Sabar ya,Din! Aku sudah menghubungi orang tua kamu agar cepat-cepat kemari...." hibur Ahsan memecah keheningan.

"Ohh! Te...terima k..kasih...." desah Dinda sambil terbata-bata.

Namun agaknya keheningan lebih betah hinggap di ruangan itu. Kembali senyap menghampiri sampai beberapa saat. Dinda terduduk di samping ranjang Dini sedangkan Ahsan berdiri dekat pintu. Pembicaraan mereka seolah terhenti oleh suara tokek di balik dinding. Tiba-tiba...

"San..." terdengar suara yang begitu lirih sampai nyaris tak terdengar.

"Mmm... Iya? Ada apa,Din?" jawab Ahsan agak gugup.

"Gue bingung mesti gimana! Gue nggak percaya kalo keluarga loe bakal milih gue. Gue..."

"Ssst... Bukan waktunya bagi kita untuk membicarakan hal itu. Sekarang yang harus kita pikirkan terlebih dulu adalah keadaan Dini," potong Ahsan.

"Gue juga pengin kaya gitu. Gue bener-bener sedih ngliat adek gue seperti ini. Tapi loe tau sendiri 'kan kalo kita juga punya masalah yang seharusnya diselesein hari ni juga. Andai saja kejadian ini gak terjadi..." Dinda tak melanjutkan kata-katanya. Matanya terasa perih karena tak kuasa menahan air mata yang menganak sungai. (lebay...)

"Iya, Din. Aku tahu itu. Aku pun sebenarnya ingin menolak rencana ini. Namun saat ku bertemu denganmu, aku merasakan ada aura lain yang mengisi hati. Kehadiranmu telah meluluhkan idealisme yang slama ini terpancang. Itulah yang membuat lidahku kelu untuk berkata: Tidak!" jelasnya sambil menoleh ke arah Dinda.

Namun didapatinya Dinda kini terdiam dengan ekspresi yang cukup membingungkan. Melihat itu, Ahsan makin jadi khawatir.

"Din, kamu nda' apa-apa kan?"

"Nggak, san! Gue cuma bingung aja. Barusan loe ngomong apaan sih?" balas Dinda masih dengan mimik innocent.

"Hadduh...!" timpal Ahsan sambil geleng-geleng kepala.

"OK, anggap saja aku menyerahkan semua perkara ini ke kamu. Apapun jawabannya insya Allah aku ikhlas menerimanya..." lanjut Ahsan.

"Jadi, gimana?" tanya Dinda masih agak bingung. Tangannya nampak mengusap kelopak matanya yang dari tadi basah.

"Loh? Kok malah kamu yang nanya? Harusnya aku donk yang nanya gitu..."

"Maksudnya?" Dinda makin bingung.

"Huft, mungkin kamu perlu menenangkan diri terlebih dahulu. Sebentar, aku akan belikan minuman untukmu."

Ahsan pun memutuskan keluar untuk membeli minuman. Namun alangkah kagetnya Ahsan, ternyata dari tadi ada orang yang bersandar di daun pintu itu dari luar. Sehingga tepat ketika ia membuka pintu, mereka dengan kompaknya jatuh ke arahnya.

"Gedubrrakk!"

"Aduduuh...! Masya Allah!" sentak mereka hampir bersamaan.

Ahsan terperanjat,"Abi! Apa yang Abi lakukan di luar?"

Dinda pun tak kalah terkejutnya...

"Ayah! Ibu! Ngapain ngintip-ngintip dari luar?"

[ternyata masih bersambung...]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar